relative deprivation
RELATIVE DEPRIVATION (1960)
A.
Pengertian
Relative Deprivation
Relative
Deprivation Theory, Teori ini menolak teori deprivasi absolut dimana munculnya
gerakan diakibatkan oleh deprivasi material yang bersifat objektif- mutlak
seperti kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan ketidakamanan. Dalam teori
deprivasi relatif kondisi sosial yang memicu gerakan bersifat
subjektif-relatif. Deprivasi relatif terjadi ketika terdapat kesenjangan
signifikan antara nilai yang diharapkan
dengan nilai yang diperoleh sesungguhnya. Nilai yang diharapkan biasanya
distandarkan kepada reference group kemudian membandingkannya dengan nilai yang
diperoleh. Oleh sebab itu melalui teori ini dapat dimengerti bahwa gerakan
sosial seringkali terjadi dalam kondisi objektif yang normal (harapan meningkat
lebih cepat) dan individu yang terlibat dalam gerakan tidak selalu orang yang
mengalami deprivasi.
Pendekatan
teori deprivasi relatif memiliki keterbatasan. Teori ini ternyata lebih relevan
untuk gerakan protes politik daripada gerakan ekspresif yang juga menghasilkan
perubahan. Teori ini juga tidak dapat menjelaskan secara komprehensif terhadap
munculnya gerakan sosial. Beberapa analis menyimpulkan melalui penelitiannya
untuk menolak teori deprivasi relatif. Namun demikian pendekatan teori ini
memiliki sejumlah kekuatan untuk dikembangkan dalam memahami fenomena gerakan
sosial. Kekuatan itu adalah:
1. Perspektif
deprivasi relatif secara konseptual lebih jelas dibandingkan argumen-argumen
lama tentang mass discontent.
2. Teori
ini tidak melibatkan suatu pandangan penghinaan dari partisipan gerakan sebagai
orang hina dan yang terpesona oleh irasionalitas perilaku orang banyak.
3. Teori
ini dilihat memiliki kegunaan ketika dikombinasikan dengan pendekatan lain,
akan tetapi bukanlah suatu penjelasan yang lengkap tentang gerakan sosial.
B.
Gerakan
Islam Radikal
Dalam perspektif
gerakan sosial (social movement) fenomena Islam radikal bisa dilihat sebagai
sebuah gejala resistensi sosial. Dengan kata lain bahwa Islam radikal bisa
dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial. Menurut berbagai teori gerakan sosial,
khususnya teori deprivasi sosial (relative-deprivation theory), sebuah gerakan
sosial akan muncul bila ada perubahan sosial di masyarakat yang mengakibatkan
perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial yang tidak
diharapkan oleh sebagian masyarakat akan menyebabkan kekecewaan (social
discontent) dan pada akhirnya memunculkan sebuah gerakan sosial.
Terlepas dari berbagai asumsi dan
analisa konspirasi atas serangkaian bom yang terjadi di Indonesia dari bom Bali
I (2002), bom marriott (2003), bom Kuningan (2004) hingga bom Bali II (2005),
berbagai bom tersebut berkaitan dengan keberadaan sebuah kelompok umat Islam di
Indonesia. Di satu sisi, walaupun tidak masif, keberadaan kelompok ini cukup fenomenal
sehingga kelompok ini bisa dikategorikan sebagai sebuah aliran tersendiri dalam
Islam, yaitu Islam radikal, yaitu suatu kelompok yang menginginkan perubahan
sosial secara mendalam (radic). Di sisi lain, fenomena Islam radikal di
Indonesia merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari gejala Islam radikal
di belahan dunia yang lain yang tidak puas dengan tatanan dunia saat ini, yaitu
hegemoni Barat.
Sebagai sebuah fenomena/gejala, tentu
Islam radikal bukanlah permasalahan utama. Dengan kata lain, Islam radikal
lebih merupakan sebuah gejala dari problem besar yang dihadapi umat Islam, baik
Indonesia maupun dunia secara umum. Ada beberapa teori yang berusaha
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena radikalisme Islam
tersebut, diantaranya adalah teori gerakan sosial. Tulisan ini akan membahas
fenomena Islam radikal dari perspektif gerakan sosial dan kemudian memberikan
alternatif solutif bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan global.
Beberapa kelompok di masyarakat yang
kecewa dengan perubahan sosial yang tidak mengarah pada yang mereka inginkan
karena pertarungan budaya (clash of civilization) ini akhirnya “memaksa” mereka
untuk mengadakan “perlawanan” melalui sebuah gerakan sosial. Dalam konteks
Islam, gerakan Islam radikal ini bisa dilihat sebagai sebuah manifestasi dari
kekecewaan terhadap perubahan sosial yang tidak seperti yang mereka harapkan.
Oleh karena itu, Islam radikal adalah gerakan sosial yang berusaha membangun
tatanan baru (a new order of life) yang lebih baik.
Islam fundamentalis dan Islam radikal
bukanlah fenomena baru di dunia Islam. Fenomena ini sudah ada sejak akhir abad
19 seiring dengan perubahan sosial yang diusung oleh kolonialisme Barat yang
menggunakan bendera modernisasi. Fenomena Islam radikal semakin “semarak” sejak
akhir abad 20 sejak kapitalisme Barat mewabah pada mayoritas dunia Muslim di
bawah bendera globalisasi. Sayangnya, globalisasi tidak hanya berdimensi
tunggal, tetapi ia mengusung 4 dimensi lain, yaitu ekonomi, militer, budaya
(termasuk agama), dan politik.
Bagi sebagian bangsa, fenomena
modernisasi global atau globalisasi sering disebut sebagai Westernisasi,
Amerikanisasi atau bahkan McDonalisasi. Yang pasti modernisasi dan globalisasi
tidak sekedar sebuah konsep atau proses sosial yang menghasilkan suatu
komoditas, tapi ia adalah sebuah proses sosial yang menghasilkan tradisi dan
budaya yang mampu melibas tradisi dan budaya lokal.
Modernisasi dan globalisasi menjadi
sebuah gejala yang berusaha menstandardkan dunia dengan tradisi dan budaya
global. Bagi pihak-pihak tertentu khususnya agama, jelas gejala ini merupakan
sebuah ancaman serius karena globalisasi bisa mengikis habis tradisi dan budaya
agama tersebut. Apalagi kita juga tidak bisa menyangkal fakta bahwa kekerasan
(violence), terorisme, seks bebas, dan munculnya berbagai penyakit baru seperti
AIDS, flu burung adalah “anak resmi” dari modernisasi dan globalisasi.
Usaha-usaha untuk melawan gelaja itulah yang kemudian memunculkan fenomena
Islam fundamentalis dan Islam radikal.
Walaupun sulit untuk menyimpulkan bahwa
Islam radikal adalah anti modernisasi, namun untuk menyatukan elemen-eleman
modern tanpa menghapus nilai-nilai tradisional (agama) adalah sulit dan
komplek, untuk tidak mengatakan tidak mungkin. Selain itu, ada keyakinan kuat
di kalangan Islam radikal bahwa,
1. Islam
memiliki konsep yang bisa membangun masyarakat yang ideal.
2. Masyarakat
ideal hanya bisa dicapai dengan Islam.
Kedua
keyakinan di atas menjadikan pihak yang meyakininya tidak mempercayai hal-hal
modern yang muncul dari Barat. Dan bahkan mereka menganggap bahwa nilai-nilai
yang muncul bersamaan dengan modernisasi tidak baik untuk umat Islam. Akhirnya,
beberapa kelompok Islam menolak nilai-nilai dari Barat seperti demokrasi,
pluralisme, persamaan gender dll.
Comments