PROKLAMASI DAN PEMBENTUKAN PEMERINTAH
Proklamasi
dan pembentukan pemerintahan
Pada
akhir bulan Agustus 1945, pemerintah republican telah berdiri di Jakarta.
Kabinet Presidensial dibentuk, dengan soekarno sendiri ketuanya. Hingga
pemilihan umum digelar, komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk untuk membantu
presiden dan bertindak hamper sebagai Badan Legislatif. Komite serupa juga dibentuk tingkat provinsi
dan kabupaten. Mendengar berita pembentukan pusat di Jakarta, beberapa raja
menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya belum
menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah didukung oleh
pemerintah Belanda.
Khawatir Belanda akan berusaha
merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang baru dibentuk tersebut
dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih
sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat
sedikit. Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana
menteri pertama
mengetuai kabinet Sjahrir I.
Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur
komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan
republikan yang mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa
kelompok-kelompok kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya
dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik. Ketiadaan struktur militer yang
patuh pada pemerintah pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu. Dalam masa
awal pembentukan struktur militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang
mendapat pangkat yang lebih tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda.
Pada 12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi
militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman terpilih menjadi panglima
Tentara Keamanan Rakyat,
bergelar "Panglima Besar".
2.2
Euforia Revolusi
Sebelum berita
tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia
menyebar ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu
kota Jakarta
tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang
untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-republik, dan suasana revolusi menyapu
seluruh negeri. Kekuatan luar di dalam negeri telah menyingkir, seminggu
sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah mulai melemah
kekuatannya dikarenakan perang. Disisi lain, pasukan Jepang, sesuai dengan
ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata, da juga menjaga
ketertiban umum.
kevakuman
kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang menyerah
menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi
hal ini menjadi suatu kesempatan bagi rakyat. Banyak pemuda Indonesia bergabung
dengan kelompok perjuangan pro-republik dan laskar-laskar. Laskar-laskar yang
paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan Heiho yang dibentuk oleh
Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi
perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri
dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.
Pada bulan
September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil
alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di
Jawa. Untuk menyebarkan pesan-peasn revolusioner, para pemuda mendirikan
stasiun radio dan koran, serta grafiti yang penuh dengan sentimen nasionalis.
Di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar
milisi dibentuk. Koran kaum republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di
Jakarta, Yogyakarta
dan Surakarta,
yang betujuan memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.
Para pemimpin
republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang menyebar di masyarakat, karena
ada beberapa kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan yang lain lebih
memilih menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka
dan pemimpin kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin
oleh para pemuda. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam
perencanaan sebuah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai
kemerdekaan melalui diplomasi. Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di di
kota-kota besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih
dari 200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.
Pada September
1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri "siap mati untuk
kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada saat
itu, penculikan kaum "nonpribumi" - interniran Belanda, orang-orang Eurasia,
Maluku
dan Tionghoa
- sangat umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan
menyebar dari seluruh negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta terus
menyerukan kepada para pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung
perjuangan bersenjata memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para
"pengkhianat revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan
meletusnya konflik internal di kalangan masyarakat sipil.
2.3
Tindakan Sekutu untuk menduduki Indonesia kembali
Meskipun
begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa
mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya
enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia. Sementara Amerika Serikat sedang
fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali
seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis
Mountbatten, Panglima
Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara.
Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di Irian Jaya;
para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah tersebut. Di area
yang dikuasa angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan Sekutu segera saja
menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara Australia (diikuti pasukan
Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan cepat menguasai daerah-daerah
yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali Bali dan Lombok. Karena
tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara Australia dengan mudah
menguasai beberapa daerah di bagian Timur Indonesia.
Inggris
ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda
mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim
kedaulatan atas Indonesia. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran
belum mendarat di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten
adalah pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan
perang. Ia tidak ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangakan
pengembalian Indonesia pada Belanda. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang,
Semarang
dan Surabaya
pada bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang
Indonesia, komandan pasukan Inggris Letjen Sir Philip
Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke
Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus. Tensi
memuncak saat tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatera; bentrokan pecah
antara kaum republikan melawan para "musuh negara", seperti tawanan
Belanda, KNIL,
orang Tionghoa, orang-orang Indo dan warga sipil Jepang.
2.4
Perjuangan dan Diplomasi Militer dalam Revolusi Indonesia
1.
Perjanjian
Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk
memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu.
Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di
bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari
luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis
Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara
demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya
menjadi bagian Uni
Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama
dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta
kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB.
Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan
lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian,
pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta,
berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan
Linggarjati.
Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya
persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang
bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
2.
Agresi
Militer Belanda I
Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan
militer yang disebut sebagai Agresi Militer
Belanda I (Operatie
Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi
militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda
sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan
hukum. Pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatera serta
Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke
Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatera, installasi
minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.
Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda
ini. Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat segera mendukung
Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda diboikot mulai
bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif dengan membentuk
Komisi
Tiga Negara
untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan
senjata. Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947,
Pasukan Belanda membantai banyak
warga sipil
di Desa Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang, Jawa Barat.
2.5
Proses
Terjadinya Kekacauan Internal
1.
Revolusi
Sosial
Revolusi
sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata
sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk di masa penjajahan Belanda, dan
terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa
penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan
aristokrat dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan
sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir
dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.
Kultur kekerasan
dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda
seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial
banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang
melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya,
dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan
adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa
penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal,
antara lain para raja, bupati, atau kadang sekedar orang-orang kaya, seringkali
menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan
juga sering menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah
pesisir Sumatera dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan
dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan
begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi
basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan
daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke tangan Belanda.
Kebanyakan
orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini
terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka
yang hidup di bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer,
"Merdeka ataoe mati!" seringkali menjadi pembenaran untuk pembunuhan
yang terjadi di daerah kekuasaan Republik. Para pedagang seringkali mengalami
situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk
memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga
tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi
pihak Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk
menuntut kebijakan proaktif dari para pemimpin, seringkali berakhir tidak hanya
menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tapi juga perampokan dan pemerasan.
Pedagang Tionghoa, khususnya, seringkali diminta untuk memberikan harga murah
dengan ancaman pembunuhan.
2.
Pemberontakan
Komunis
Pada
18 September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun, oleh
anggota PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas
kepemimpinan Sukarno Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran
antara TNI dan PKI ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa
minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo,
Gubernur Jawa Tiur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin
relijius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan
konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika
yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme,
menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia
mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era
perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.
3.
Pemberontakan
Darul Islam
Pemerintah
berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya
disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade
yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu
ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas
militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke
Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil
Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7
Agustus 1953.
Awalnya TNI tidak
merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun setelah
seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik
Indonesia mulai menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah
beberapa provinsi lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan
ini berhasil dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar
Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.
2.6 Dampak Revolusi Indonesia
Walaupun tidak
ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk Indonesia yang
meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia.
Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia berkisar
dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam
kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris
yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera
antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda
lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia.
Lebih banyak lagi tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal
dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang
gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat
Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang Tionghoa
dan masyarakat asing lainnya di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat
tinggalnya di Indonesia,
walaupun dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia
mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu,
lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatera
dan Jawa.
Gerakan
revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi,
sosial
dan budaya
Indonesia
itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua
efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang
berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan
Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka
secara berkelanjutan setelah Perang Dunia
II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal
yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya diblokade oleh Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Comments