KERAJAAN MELAYU JAMBI





KERAJAAN MELAYU JAMBI

 berdasarkan teori, ibu negara Kerajaan Malayu dikaitkan dengan Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi berbagai negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditawan oleh Srivijaya pada akhir abad ke-7 Masihi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.
Kerajaan Melayu (juga digelar Malayu, Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Jambi) ialah sebuah kerajaan Asia Tenggara yang telah wujud antara abad ke-4 dan ke-13 pada tahun Masihi. Ia telah ditubuhkan di sekitar di mananya kini Jambi di Sumatra, Indonesia. Lokasinya adalah lebih kurang 200km utara Palembang. Sekitar 688 M, Maharaja Jayanasa mengintegrasikan Jambi ke dalam empayar Srivijaya.
Menurut Yijing, Melayu yang awal (dieja sebagai Ma-La-Yu dalam tulisan bahasa China ialah sebuah kerajaan berdikari. Pada lewat abad ke-7 M, sami Yijing merakamkan bahawa kali kedua dia pulang semula ke Ma-La-Yu, ia telah ditawan oleh Srivijaya. Tambahan, Melayu telah mencapai kawasan-kawasan yang menghasilkan emas di daerah pendalaman Sumatra. Ini secara lambat menambahkan martabat Melayu yang berdagang pelbagai barangan tempatan, termasuk emas, dengan para pedagang asing. Perkataan Melayu telah dipahatkan (tahun 1286) pada sebuah patung Padang Rocore di muara sungai Muara Jambi. Menurut Ensiklopedia Malaysia, tulisan India silam dalam Ramayana dan Vayu Purana (Abad ke-3 SM), perkataan bahasa Sanskrit 'Malayadvipa' (secara harfiah 'Pulau Melayu') telah disebut, merujuk pada Sumatra.
Antara 1079 dan 1088, rakaman China menunjukkan bahawa Srivijaya mengirim duta dari Jambi dan Palembang. Pada 1079 khususnya, seorang duta dari Jambi dan Palembang setiapnya untuk melawat China. Jambi mengirim dua duta ke China pada 1082 dan 1088. Ini bercadang bahawa pusat Srivijaya sering beralih di antara dua buah bandar utama itu sewaktu zaman itu. Ekspedisi Chola dan juga jalan perdagangan yang berubahan melemahkan Palembang, membenarkan Jambi untuk mengambil pucuk pimpinan Srivijaya dari abad ke-11 dan selanjutnya.

Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung.Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Prasasti Adityawarman
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Runtuhnya Pagaruyung "Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung".
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Comments

Popular posts from this blog

HISTORIOGRAFI AFRIKA

Dinasti Ghaznawiyah (977 M – )

KEMAJUAN DUNIA BARAT DALAM ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI