HISTORIOGRAFI AFRIKA



HISTORIOGRAFI AFRIKA


a. Sejarah Afrika
Afrika adalah yang terbesar dari ketiga benua di belahan selatan Bumi dan yang terbesar kedua setelah Asia dari semua benua. Luasnya kurang lebih 30,244,050 km2 (11,677,240 mil2) termasuk kepulauan disekitarnya, meliputi 20.3% dari total daratan di bumi dan didiami lebih dari 800 juta manusia, atau sekitar sepertujuh populasi manusia di bumi.
Afrika adalah tempat tinggal manusia yang paling awal, dari benua ini manusia kemudian menyebar ke benua-benua lain. Afrika adalah tempat di mana garis evolusi kera menjadi berbeda dari protohuman tujuh juta tahun yang lalu. Afrika merupakan satu-satunya benua yang ditinggali nenek moyang manusia hingga sekitar dua juta tahun lampau ketika Homo erectus berkembang ke luar Afrika menuju Eropa dan Asia. Yang di Eropa menjadi Neanderthal, yang di Asia tetap Homo erectus, tetapi yang di Afrika berevolusi menjadi Homo sapiens. Benua Afrika dikenal dengan julukan Benua Hitam. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk di kawasan benua ini adalah orang-orang kulit hitam (negro).
Kata Afrika berasal dari bahasa Latin, Africa terra "tanah Afri" (bentuk jamak dari "Afer") untuk menunjukkan bagian utara benua tersebut, saat ini merupakan bagian dari Tunisia, tempat kedudukan provinsi Romawi untuk Afrika. Asal kata Afer mungkin dari bahasa Fenisia, 'afar berarti debu; atau dari suku Afridi, yang mendiami bagian utara benua dekat Kartago; atau dari bahasa Yunani aphrike berarti tanpa dingin; atau dari bahasa Latin aprica berarti cerah.[1]
Unsur historiografi tradisional Afrika adalah:
1)   Kepercayaan yang asasi akan adanya kelanjutan hidup. Misalnya: mitos Horus yaitu raja-raja yang sudah mati, tetap terus mempengaruhi perbuatan dari luapan sungai Nil.
2)   Penghormatan pada nenek moyang. Yaitu setiap komuniti didirikan oleh seorang nenek moyang atau sekelompok nenek moyang. Nenek moyang telah menetapkan dasar dari hak dan kewajiban hidup yang berlaku untuk segala zaman.[2]

ê Tradisi-Tradisi Mengenai Asal Mula
Setiap komuniti kelurga, klen, desa, kota, atau negara besar atau kecil, mempunyai tradisi yang tetap mengenai asal mulanya. Komuniti itu mungkin terpecah-pecah, bermigrasi, dan mengasimilasi unsur  yang baru, atau ditaklukkan oleh yang lainnya dan diserap oleh imigran baru. Pada setiap tingkat dari transformasi, tradisi berada dalam pengkristalan kembali untuk mengakomodasi kondisi  yang berubah, dan suatu tradisi baru. Tradisi  ini menjadi dasar pokok dari pandangan komuniti mengenai sejarah. Proses sesungguhnya dari pembuatan tradisi dan akulturasi di dalam komuniti, dan dari penyampaian tradisi ke generasi yang berikutnya, mengembangkan suatu kesadaran sejarah yang menjadi tersebar luas di Afrika.[3]
Mempelajari historigrafi pada hakekatnya memahami “ sejarahnya penulisan sejarah”sebab didalamnya terdapat perkembangan penulisan sejarah, pengaruh persamaan lingkungan kebudayaan pada setiap penulisan sejarah serta penggunaan teori dan metodologi sejarah dalam mengungkap dan menyajikan materi penulisan sejarah.[4]
Dalam hal ini historiografi tradisional Afrika menyerupai historiografi Eropa sebelum revolusi ilmu pengetahuan memecah filsafat ke dalam berbagai bagian. Pembuatan dan penyampaian tradisi bukanlah pekerjaan ahli sejarah sebagaimana menurut pandangan modern, tetapi pekerjaan pendeta dan ahli agama, orang tua, dan orang bijaksana pada umumnya. Tradisi tidak hanya menjelaskan hubungan antara para nenek moyang dari komuniti yang berbeda-beda tetapi juga hubungan antara komuniti yang ada, para nenek moyang, dan dewa-dewa.[5]

ê  Penyampaian dari mulut ke mulut
Cara yang paling umum dalam menyampaikan tradisi adalah melalu cerita,fabel, dan peribahasa  yang diceritakan oleh orang  yang lebih tua kepada mereka yang lebih muda. Di dalam kesempatan bercerita itu, sesudah makan malam di dalam kelompok  keluarga atau selama pesta bulan purnama ketika orang-orang tidak tidur sampai jauh malam, tradisi menceritakan asal mula adanya hubungan dari seluruh komuniti atau dari keluarga atau klen tertentu.
Tradisi disampaikan secara lebih formal bila ada pranata pendidikan yang terorganisasi, umpamanya yang berhubungan dengan ritual masa dewasa, inisiasi ke dalam tingkat umur dan kelompok rahasia, atau selama latihan atau pendidikan untuk menjadi pendeta atau ahli agama.
Dengan demikian, proses penyampaian tradisi tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan tradisi. Tradisi dibuat oleh mereka yang menyampaikannya; orang-orang yang lebih tua di desa atau klan, dan seluruh unsur yang terlibat dalam proses itu.[6]

ê  Bentuk-Bentuk Tradisi
Tradisi itu ada yang berbentuk atas dasar kenyataan sejarah. Ada pula yang berbentuk atas dasar kesusasteraan dan filsafat. Adapun tradisi-tradisi yang bersifat kenyataan sejarah, seperti daftar-daftar formal dari raja-raja dan pemegang jabatan lainnya, kronik-kronik dari setiap masa pemerintahan, pemberian-pemberian gelar, dan puisi-puisi pujian yang sering meliputi kritik langsung maupun tidak langsung, geneologi-geneologi, dan hukum-hukum atau adat istiadat tertentu, serta biografi yang simbolik.
 Lalu tradisi-tradisi yang lebih berbentuk kesusasteraan meliputi pribahasa-pribahasa atau  ungkapan-ungkapan, dan lirik-lirik. Ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus dengan kelompok seniman tertentu, tingkatan umur, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Sedangkan tradisi yang lebih bersifat filsafat terdapat pada do’a-doa suci, puisi-puisi pujian kepada dewa-dewa, puisi-puisi suci, nyanyian-nyanyian berkabung, dan hymne-hymne.

ê Pengaruh Asing dalam Historiografi Afrika
1. Pengaruh Ethiopia
Telah ada tradisi-tradisi sejarah di Afrika yang mempengaruhi historiografi Afrika kemudian. pada abad ke-12 Ethiopia mengembangkan suatu legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan tanah suci. Itu adalah tradisi tertulis tercakup dalam Buku Raja yang menjadi acara yang utama, dalam pentahbisan raja Sebenarnya yang lebih berhubungan dengan historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi dari orang Barbar. Seperti mayoritas orang Afrika lainnya, Orang barbar amat sadar akan adanya hubungan yang berlangsung terus menerus dengan masa lampau. Sebagai bentuk reaksi mereka terhadap agama Kristen dari Romawi dan Islam dari tanah Arab, mereka memanifestasikan suatu sikap mistik yang berbeda dan dikombinasikan dengan penghormatan-penghormatan kepada para nenek moyang. Di dalamnya terdapat pernyataan kesusasteraan yang berisikan penghormatan terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan para nenek moyang, sama dengan tradisi-tradisi yang terdapat di bagian-bagian lain Afrika.[7]
    
2. Pengaruh Islam
Pengaruh Islam tidak hanya penting di Afrika Utara tetapi juga di Afrika Timur, seluruh daerah Sudan, dan daerah-daerah lain. Seperti pengaruh geneologi, Barbar memasukan unsur ini ke dalam penghormatan kepada para leluhur dalam bentuk memeriksa dan mengikuti jejak geneologi spiritual para pemimpin Islam. Penulis-penulis Islam menghasilkan tarikh dan kronika, khususnya antara abad-abad ke-11 dan ke-17. Penulis Islam tertarik kepada penyebaran dan pengaruh Islam, serta kepada kehidupan keagamaan dan ekonomi dari pusat-pusat utama agama Islam. Faktor ini berdiri sendiri di luar tradisi dan kehidupan Afrika secara menyeluruh. Tradisi rakyat dibuat tertulis, pada umumnya dalam bahasa Arab, tetapi kadang juga di dalam tulisan Arab dengan bahasa Lokal. [8]

3. Pengaruh Eropa
Pada abad ke-19, ketika pengaruh Eropa masuk ke Afrika, pengaruh itu tidaklah dibangun di atas tradisi-tradisi sejarah yang ada, tetapi menantang dan menggantikan tempat tradisi-tradisi sejarah tersebut. Pandangan Eropa tentang sejarah yang bersifat dokumenter membantu propaganda penguasa-penguasa kolonial; Afrika tidak mempunyai sejarah tercatat yang ada harganya, karena sejarah dari para pedagang Eropa, penyebar-penyebar agama, penyelidik-penyelidik, penakluk-penakluk, dan penguasa-penguasa adalah yang membuat sejarah Afrika. Sejarah Eropa dan sejarah ekspansi Eropa mulai menggantikan sejarah dan tradisi lokal di dalam pendidikan orang-orang muda Afrika, walaupun beberapa perhatian diberikan kepada sumber-sumber Arab dan lainnya. Ahli-ahli sejarah Eropa abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 berusaha untuk menjelaskan perdagangan budak di daerah Atlantik,keunggulan dari teknologi Eropa, dan ketaklukkan Afrika, tidak dilihat dari segi studi sejarah dari benua ini tetapi dilihat dari segi prasangka-prasangka rasial dan psikologi tentang kekalahan yang merupakan ciri yang utama dri orang-orang yang mempunyai warna kulit hitam. Bahkan kelompok-kelompok penyebar agama Kristen mengintroduksi penjelasan agama yang mengatakan bahwa orang-orang Afrika adalah anak-anak Ham dan mereka berada di bawah kutukan Nabi Nuh untuk menjadi pemotong-pemotong kayu dan penimba air bagi mereka yang mempunyai kulit yang lebih putih. Historiografi Afrika akhirnya hanya menjadi suatu alat pembenaran bagi imperialisme Eropa.[9]








DAFTAR PUSTAKA


Dipoyudo, Kirdi. 1977. Afrika dalam Pergolakan. Jakarta:Yayasan Proklamasi Center For Strategi And International Studies.
http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika
http://rayya76.blogspot.sg/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html











[1]  http://id.wikipedia.org/wiki/Afrika
[2]  http://bermuladarisebuahtitikkecil.blogspot.sg/2011/11/historiografi-afrika.html
[3]  http://youchenkymayeli.blogspot.com/2012/11/historiografi-afrika.html
[4]  http://bermuladarisebuahtitikkecil.blogspot.com/2011/11/historiografi-afrika.html
[5]  Dipoyudo, Kirdi. 1977. Afrika dalam Pergolakan. Jakarta:Yayasan Proklamasi Center For Strategi And
International Studies.

[6]  http://rayya76.blogspot.sg/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[7]  http://rayya76.blogspot.sg/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[8]  http://youchenkymayeli.blogspot.sg/2012/11/historiografi-afrika.html
[9]  http://youchenkymayeli.blogspot.sg/2012/11/historiografi-afrika.html

Comments

Popular posts from this blog

Dinasti Ghaznawiyah (977 M – )

PROYEKSI PETA